Bible Text: Mazmur 128:1-6 | Series: Rumah Tangga Kristen

Pernikahan adalah persekutuan atau ikatan anatara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana yang tertulis dalam UU No. 1 Tahun 1974. Pernikahan adalah program Allah agar manusia bahagia, dan keadaannya lebih baik. Mendapat istri yang berakal budi adalah karunia Tuhan.

Untuk apa pernikahan itu?

Banyak orang yang sudah menikah atau berkeluarga tidak bahagia malah bahaya karena tidak mengerti hakekat dan tujuan pernikahan. Hal ini juga bisa akibat salah pilih sehinga seseorang menikah dengan orang yang salah. Menurut suatu riset tentang pernikahan, ternyata 85 persen orang yang menikah tidak merasa bahagia, bahkan banyak yang berujung perceraian. Bahkan ada pernikahan yang bertahan satu tahun, satu bulan, dan yang hanya hitungan hari dan jam saja, padahal pasutri tersebut sudah saling mengenal cukup lama.

Menurut suatu riset tentang pernikahan dan perceraian, propinsi Jawa Timur memegang rekor tertinggi. Tahun 2011 saja, perceraian di propinsi ini tercatat jumlah 92.729 kasus. Dari jumlah tersebut, dengan kabupaten Indramayu di urutan pertama disusul kabupaten Banyuwangi. Dan faktor teratas yang jadi penyebabnya adalah masalah ekonomi dan perselingkuhan.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa disebabkan banyak hal, di antaranya ketidakcocokan antara pasangan, tidak adanya saling pengertian dan kasih, belum siap secara mental, masalah ekonomi, dan sebagainya. Namun dari semula Allah merancang pernikahan untuk berbahagia. Dalam Amsal 18:22 disebutkan bahwa mendapat istri, mendapat sesuatu yang baik dan dikenan Tuhan.

Seharusnya, setelah menikah pasutri harus lebih berbahagia. Menurut penelitian Prof. Dr. Jim Foster, di Amsterdam University, bahwa hubungan suami istri yang syah dapat membuat para suami lebih cerdas dan bahagia.

Mengapa harus menikah?

Menikah adalah menjalankan program Allah. Dalam Pengkhotbah 9:9 disebutkan: "Nikmatilah hidup dengan istri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari."

Sebenarnya, keluarga tanpa kehadiran anak sudah cukup. Kalau Tuhan memberi anak, itu adalah suatu bonus atau upah (Mazmur 127:3). Namun banyak pasutri yang merasa kurang bahagia bila belum punya anak. Bahkan untuk suku tertentu, tidak merasa afdol sebelum punya anak laki-laki. Istri harus lebih mendapat perhatian karena akan bersama seumur hidup, anak-anak bisa saja datang dan pergi.

Perempuan Sunem yang sangat memperhatikan pelayanan nabi Elisa dengan memberi kamar khusus dengan tempat tidur, meja kursi dan kandil dengan maksud apabila nabi itu berkunjung dapat singgah di rumahnya. Kepada hambanya Gehazi, nabi Elisa ingin membalas kebaikan perempuan Sunem tersebut dan menanyakan keinginan atau permohonan doa. Perempuan itu berkata: "Aku ini tinggal di tengah-tengah kaumku!" Dalam salinan lain disebutkan: “Aku berkecukupan, tidak kurang apa-apa.”

Perempuan ini tidak mengeluh walau belum punya anak dan suaminya sudah tua. Banyak pasangan suami istri yang belum dapat momongan gelisah, mengeluh bahkan ada yang berdukun bila belum mendapat anak. Tetapi wanita ini bisa tetap bersyukur dan bergembira melayani Tuhan. Dan nabi Elisa menaruh perhatian atas pelayanannya, dan berkata: "Pada waktu seperti ini juga, tahun depan, engkau ini akan menggendong seorang anak laki-laki." (2 Raja-raja 4:16). Untuk melihat mujizat Tuhan, jangan mengeluh, tetapi bergembiralah karena Tuhan (Mazmur 37:4).

Pernikahan juga menggambarkan hubungan Kristus dengan gereja, yang merupakan rahasia besar (Efesus 5:31-33).

Bagaimanakah seharusnya menjalani pernikahan?

Sering kita lihat dan jumpai banyak keluarga yang telah lama menikah tetapi kehidupannya tidak semakin baik atau bahagia, malah memburuk dan berujung bahaya. Bagaimana seharusnya menjalaninya?

Saling Mengasihi
Suami harus lebih mengasihi istri daripada mengasihi anak-anak, karena istri adalah teman sehidup semati. Karena itu suami harus sabar dan tidak berlaku kasar terhadap istri (Kolose 3:19)

Budi bahasa yang baik
Banyak para suami yang merasa bangga dan menganggap berwibawa bila bisa memarahi dan menyenggak istri dan anak-anak. Namun pasutri yang terpuji adalah saling memuji. Sulaiman dan Sulamit tidak pernah mengungkapkan kesalahan dan kelemahan pasangannya (Kidung Agung 5:16). Kata-kata suami istri harus penuh kasih, digarami dan jangan hambar (Kolose 4:6).